Loading...
Banner Artikel Gangguan Kognitif pada Anak: Penyebab, Jenis, Penanganan
Tumbuh Kembang

Gangguan Kognitif pada Anak: Penyebab, Jenis, Penanganan

Disusun oleh: Tim Penulis

Diterbitkan: 08 Februari 2024

Diperbarui: 02 Oktober 2025


  • Apa Itu Gangguan Kognitif?
  • Penyebab Gangguan Kognitif pada Anak
  • Tanda dan Gejala Gangguan Kognitif
  • Jenis-Jenis Gangguan Kognitif pada Anak
  • Dampak Gangguan Kognitif terhadap Anak
  • Cara Mengatasi Gangguan Kognitif
  • Kapan Harus ke Dokter atau Terapis?

Gangguan kognitif adalah jenis gangguan tumbuh kembang yang cukup umum terjadi pada anak dan dapat dikenali sejak usia 2 tahun. Gangguan ini wajib ditangani dengan tepat!

Apa Itu Gangguan Kognitif?

Gangguan kognitif adalah penurunan fungsi otak yang berkaitan dengan cara berpikir, nalar, memproses informasi, mengingat, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan.

Gangguan fungsi kognitif disebut juga dengan cognitive impairment atau disabilitas intelektual. Beberapa contoh gangguan fungsi kognitif adalah:

  • Terlambat mencapai milestone motorik di usianya, seperti terlambat duduk, terlambat berjalan.
  • Terlambat bicara (speech delay), kesulitan berbahasa, atau kesulitan berbicara.

Penyebab Gangguan Kognitif pada Anak

Gangguan kognitif terjadi akibat beberapa masalah berikut:

1. Faktor Genetik dan Kromosom

Penyebab utama gangguan kognitif adalah kelainan kromosom atau sindrom genetik. Sebagai contoh, kelebihan kromosom 21 menyebabkan Down Syndrome. 

Contoh lainnya, orang tua dengan kelainan kromosom X bisa menurunkannya kepada anak dan menyebabkan sindrom fragil X. 

Gangguan ini diketahui menjadi penyebab nomor 2 gangguan kognitif pada anak setelah Down syndrome.

2. Faktor Kehamilan dan Persalinan

Masalah saat hamil dan persalinan meningkatkan gangguan kognitif pada anak. Beberapa masalah tersebut, di antaranya:

  • Konsumsi narkoba saat hamil.
  • Keracunan logam berat (timbal, merkuri, atau lainnya) selama kehamilan.
  • Keracunan pestisida saat kehamilan.
  • Mengidap infeksi saat hamil.
  • Anak lahir prematur.
  • Janin tidak berkembang baik selama di dalam rahim (IUGR).
  • Anak lahir kekurangan oksigen (asfiksia atau birth asphyxia).
  • Mama memiliki riwayat kecelakaan atau cedera fisik selama kehamilan.

3. Faktor Lingkungan dan Gizi

Gangguan kognitif adalah kondisi yang terjadi akibat masalah gizi. Anak yang kekurangan zat besi rentan mengalami gangguan koordinasi tubuh, memori, fokus, dan kemampuan berpikir.

Janin yang kekurangan gizi juga berisiko memiliki IQ lebih rendah 7 poin daripada IQ rata-rata.

Tak hanya itu, ada beberapa faktor lingkungan yang meningkatkan risiko gangguan kognitif, di antaranya:

  • Tertular meningitis atau batuk rejan yang tidak tertangani.
  • Terkena penyakit kuning saat bayi.
  • Riwayat trauma fisik seperti cedera otak akibat kecelakaan.
  • Riwayat pelecehan atau kekerasan yang dialami di usia dini.
  • Situasi sosial-ekonomi yang buruk. 
  • Hambatan terhadap akses pelayanan medis. 

Baca Juga: Global Development Delay pada Anak: Penyebab, Gejala, dan Cara Mengatasinya

Tanda dan Gejala Gangguan Kognitif

Gangguan kognitif adalah masalah yang bisa dideteksi sejak dini dengan memperhatikan gejalanya. Apa saja?

Gejala Awal pada Balita

Beberapa gejala awal gangguan kognitif pada balita, yaitu:

  • Tidak dapat berdiri, merangkak, atau berjalan.
  • Tidak menengok bila namanya dipanggil.
  • Tidak mengerti arti kata "tidak".
  • Tidak mencari barang yang disembunyikan.
  • Tidak bisa menggelengkan kepala atau melambaikan tangan.
  • Tidak mengucap satu kata, seperti "Mama" atau "Dada".
  • Tidak melihat arah sesuatu yang ditunjuk.
  • Menolak dekat dengan orang tua atau pengasuh.
  • Tidak mampu memegang pensil.
  • Tidak dapat menyebutkan minimal 6 kata hingga frasa berisi 2–3 kata, seperti “makan nasi”.
  • Tidak ada kosakata baru.
  • Bingung dengan fungsi dan cara menggunakan benda-benda di sekitarnya.
  • Tidak mampu menirukan kata atau tindakan orang lain.
  • Tidak paham dengan perintah sederhana.
  • Sulit kontak mata.
  • Sering berliur atau ucapannya tidak jelas.
  • Tidak berbicara dengan kata-kata.
  • Tidak bisa jawab pertanyaan sederhana.
  • Tidak paham arti "sama" dan "berbeda".
  • Tidak bisa mengikuti instruksi sebanyak 3 langkah.
  • Tidak bisa menceritakan kembali sebuah cerita dengan runut.
  • Tidak bisa menulis namanya.

Gejala di Usia Sekolah

Gejala gangguan kognitif adalah masalah yang juga bisa ditemui setelah ia beranjak besar, berikut tanda-tandanya:

  • Tidak dapat membuat gambar, bentuk, atau garis.
  • Keseimbangan tubuh buruk.
  • Tidak paham bentuk, huruf, warna.
  • Tidak bisa sebut namanya sendiri.
  • Tidak bisa cerita tentang aktivitas harian atau pengalamannya.
  • Tidak bisa gosok gigi, cuci dan mengeringkan tangan, atau melepas pakaian tanpa dibantu.
  • Tidak bisa membedakan kenyataan atau pura-pura.
  • Tidak menunjukkan berbagai emosi.
  • Tidak merespon atau respon seadanya.
  • Mudah teralihkan, sulit fokus pada 1 kegiatan.
  • Tidak bermain berbagai jenis permainan dan aktivitas.
  • Tidak bisa menuliskan nama.
  • Tidak bisa melompat dengan 1 kaki.
  • Tidak bisa bercerita kembali dengan runut.
  • Tidak tahu nama teman.
  • Tidak paham perasaan orang lain.

Jenis-Jenis Gangguan Kognitif pada Anak

Gangguan kognitif akan menimbulkan dampak yang bervariasi, tergantung tingkat keparahan dan jenisnya. Berikut beberapa jenis yang umum terjadi: 

1. Gangguan Perkembangan Intelegensi 

Gangguan kognitif adalah salah satu penyebab perkembangan intelegensi terhambat sehingga IQ anak di bawah rata-rata. Dampaknya, ia mengalami keterlambatan bicara dan gangguan belajar.

Hal ini juga menimbulkan gangguan pemrosesan pendengaran. Jadi, si Kecil tidak mampu memahami kalimat yang ia dengar serta kesulitan membedakan jenis suara dan bahasa. 

Lebih lanjut, IQ rendah juga membuat si Kecil kesulitan dalam memproses informasi visual, baik dari bacaan, angka, peta, bagan, simbol, atau gambar. 

2. Autisme (Autism Spectrum Disorder/ASD)

Autisme pada gangguan kognitif adalah gangguan neurologis yang memengaruhi cara anak berinteraksi, berkomunikasi dengan orang lain, belajar, dan berperilaku.

Menurut buku panduan Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5), anak-anak dengan autisme mungkin juga memiliki minat terbatas dan menunjukkan pola perilaku berulang.

Kondisi ini yang kemudian menyulitkan anak dalam beraktivitas, baik itu di sekolah, dalam pertemanan, maupun bidang kehidupan lainnya.

3. Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

ADHD adalah gangguan kognitif yang menyebabkan anak sulit memfokuskan perhatiannya pada suatu hal. Rentang fokus yang rendah membuatnya kesulitan menyelesaikan suatu tugas. 

Selain itu, ADHD ditandai kecenderungan perilaku hiperaktif secara berlebihan sehingga ia tidak bisa duduk anteng, selalu berbicara, hingga tidak bisa memperhatikan hal detail. 

Tanda lain yang muncul adalah perilaku impulsif yang sering membuat anak melakukan hal berbahaya hingga di luar norma, misalnya memegang nyala lilin dan menyela orang bicara.

4. Gangguan Belajar 

Gangguan pembelajaran dapat memengaruhi kemampuan anak dalam menguasai keterampilan akademis tertentu.

Gangguan fungsi kognitif ini termasuk disleksia (kesulitan membaca dan mengeja), disgrafia (kesulitan menulis), diskalkulia (kesulitan belajar matematika), dan disfasia (kesulitan berbahasa dan memahami bahasa secara lisan).

5. Gangguan Koordinasi Motorik (Developmental Coordination Disorder - DCD)

Gangguan ini memengaruhi kemampuan motorik anak. Dengan begitu, anak kesulitan dalam menyelesaikan tugas sehari-hari yang melibatkan gerakan fisik secara presisi. 

Beberapa masalah koordinasi yang kerap dialami, yaitu sulit menulis, menggunting, mengancingkan baju, menendang bola, naik sepeda, dan menari.

6. Gangguan Kecemasan dan Depresi

Gangguan mental seperti kecemasan dan depresi juga termasuk masalah pada fungsi kognitif, karena memengaruhi kemampuan konsentrasi, motivasi, dan interaksi sosial anak.

7. Gangguan Tic

Tic adalah gerakan atau suara yang muncul secara tiba-tiba, sifatnya repetitif, dan sulit untuk dikendalikan. 

Kondisi ini termasuk dalam kategori gangguan fungsi kognitif karena melibatkan kontrol impulsif, memengaruhi pemikiran, dan memengaruhi kendali diri anak.

Baca Juga: Manfaat Brain Gym & Gerakannya untuk Stimulasi Otak Anak

Dampak Gangguan Kognitif terhadap Anak

Gangguan kognitif adalah masalah yang bisa menimbulkan dampak jangka panjang untuk si Kecil. Apa sajakah itu?

1. Prestasi Akademik Menurun

Dilansir dari Paudpedia Kemdikbud, gangguan fungsi kognitif bisa membuat proses belajar di sekolah terhambat karena si Kecil sulit memahami informasi, menanggapi instruksi, atau mengingat.

Kemampuannya dalam menyelesaikan tugas dan mengatasi masalah juga rendah. Hal ini akan membuat prestasi belajarnya cenderung kurang cemerlang. 

2. Hambatan Sosial

Di samping itu, kondisi ini juga bisa membuat anak kesulitan berinteraksi secara sosial. Jadi, ia lebih sulit beradaptasi, mendapatkan teman, dan berkomunikasi dengan baik. 

Jika tidak diikuti dengan lingkungan yang suportif, gangguan kognitif menghambat partisipasi anak di dalam lingkungan sosial.

3. Masalah Kesehatan Mental

Anak dengan gangguan belajar mengalami tekanan sosial dan akademik sehingga rentan mengalami stres. Kondisi ini membuat ia berpeluang mengalami kecemasan dan depresi.

Anak dengan gangguan kognitif juga lebih rentan mengalami kejadian penuh tekanan, seperti kekerasan, pengabaian, dan lingkungan tidak stabil. Kondisi ini tentu memperparah kesehatan mental si Kecil.

Cara Mengatasi Gangguan Kognitif

Meski beberapa di antara jenis gangguan ini bersifat bawaan, gangguan kognitif adalah masalah yang bisa diatasi. Berikut metode umum yang dapat digunakan:

1. Intervensi Pendidikan Khusus

Anak-anak dengan gangguan fungsi kognitif mungkin memerlukan pendidikan khusus yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Ini bisa mencakup program pembelajaran individual, dukungan guru tambahan, atau penyesuaian dalam metode pengajaran.

2. Terapi Bicara (Speech and Language Therapy)

Speech therapy dapat membantu meningkatkan keterampilan berbahasa dan komunikasi pada anak autis atau anak yang mengalami speech delay

Selama terapi bicara, si Kecil akan distimulasi berbicara menggunakan media seperti buku, gambar, dan kejadian tertentu. 

Bisa juga anak diajak untuk memperbaiki pelafalannya dengan melatih gerakan lidah dan bentuk mulut. Contohnya, meniup lilin atau membuat embun di kaca. 

3. Terapi Perilaku (Behavioral Therapy)

Beberapa gangguan kognitif, seperti ADHD atau gangguan perilaku, dapat merespons behavioral therapy dengan baik. 

Terapi ini bertujuan untuk membentuk pola perilaku positif dan membantu mengelola tantangan perilaku yang muncul.

4. Terapi Okupasi (Occupational Therapy)

Terapis okupasi dapat membantu anak-anak dengan gangguan perkembangan motorik atau koordinasi. 

Terapi dilakukan melalui latihan dan aktivitas yang melibatkan otot halus, otot kasar, dan koordinasi mata-tangan. 

Dengan begitu, si Kecil dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan lebih baik. 

5. Pengobatan Medis

Dalam beberapa kasus gangguan kognitif, pengobatan mungkin diperlukan, terutama untuk ADHD yang melibatkan gangguan perilaku dan fokus.

Penggunaan obat-obatan harus diawasi secara ketat oleh tim dokter dan harus diintegrasikan dengan pendekatan lainnya.

Baca Juga: Bagaimana Pola Asuh Orang Tua Berdampak Bagi Perkembangan Anak?

6. Dukungan Psikososial

Anak-anak dengan gangguan fungsi kognitif mungkin memerlukan dukungan psikososial untuk mengatasi tantangan emosional dan sosial mereka.

Konseling atau terapi psikologis dapat membantu mereka mengembangkan keterampilan sosial dan mengatasi masalah emosional.

7. Keterlibatan Keluarga

Gangguan kognitif adalah kondisi yang perlu keterlibatan keluarga, terutama orang tua dan pengasuh. Cara ini sangat penting dalam mendukung kemajuan perkembangan kognitif anak

Anak dengan kondisi ini membutuhkan cara dan lingkungan khusus untuk berkembang dengan lebih optimal. 

Oleh karena itu, Mama dan Papa perlu rajin mengikuti kelas dan pelatihan yang disediakan oleh berbagai instansi terpercaya. 

8. Perubahan Gaya Hidup

Pemeliharaan gaya hidup sehat, termasuk pola makan yang bergizi seimbang, akan memberikan dampak positif pada tahap perkembangan kognitif anak.

Beberapa jenis nutrisi penting untuk otak adalah omega-3 serta DHA dan EPA. Jangan lupa, imbangi dengan asupan gizi lainnya, seperti protein, lemak, hingga vitamin dan mineral.

Makanan sehat juga mendukung pertumbuhan probiotik dalam usus yang berperan memproduksi serotonin atau senyawa di otak yang memengaruhi fungsi kognitif.

Kapan Harus ke Dokter atau Terapis?

Gangguan kognitif adalah masalah tumbuh kembang yang bisa dikurangi dampak jangka panjangnya dengan bantuan ahli yang tepat. Bawa si Kecil ke ahli bila mengalami gejala di bawah ini:

1. Gejala yang Tidak Boleh Diabaikan

Bila melihat gejala-gejala di bawah ini, segera temui dokter atau terapis terdekat.

  • Terlambat berjalan.
  • Sulit bicara sesuai usianya.
  • Sulit belajar pada tingkat kelas atau usia yang sesuai.
  • Daya ingat buruk.
  • Tidak paham akibat atas tindakan yang diperbuat.
  • Sulit memecahkan masalah.
  • Tidak memahami aturan sosial.

2. Rujukan Fasilitas dan Tenaga Ahli

Beberapa dokter dan terapis yang bisa ditemui untuk gangguan kognitif, di antaranya:

  • Dokter anak: dokter spesialis yang mendiagnosis masalah gangguan kognitif pada anak secara umum.
  • Psikiater: dokter spesialis kejiwaan yang mendiagnosis kondisi mental, emosional, dan perilaku, hingga meresepkan obat.
  • Psikolog anak: memberikan penilaian dan perawatan non-obat terkait kesehatan mental dan emosional.
  • Terapis wicara: memberikan penilaian dan mengatasi kesulitan berbicara dan masalah pemahaman bahasa.
  • Terapis okupasi: mengevaluasi dan mengatasi kemampuan gerak dan fungsi sensori anak agar mampu melakukan kegiatan harian.
  • Dokter spesialis neurologi: Dokter yang melihat dan mendiagnosis masalah berkaitan kerusakan saraf terkait fungsi otak.

Gangguan kognitif adalah masalah yang berkaitan dengan kemampuan berpikir si Kecil. Gejalanya sudah bisa terlihat sejak dini. 

Dengan penanganan tepat dan lingkungan suportif, ia dapat menjalani aktivitasnya semaksimal mungkin.

Mama butuh insight dari ahli di tengah kesibukan? Jangan ragu untuk diskusi langsung dengan Nutriclub Expert Advisor – tim ahli terpercaya di bidang nutrisi, parenting, dan tumbuh kembang anak. Hadir 24/7 untuk bantu Mama, gratis dan tanpa perlu buat janji.

Gabung jadi member Nutriclub untuk dapatkan ratusan expert-verified parenting content yang terkurasi sesuai usia si Kecil, akses ke call center yang terhubung langsung dengan ahli seputar nutrisi dan tumbuh kembang anak, serta beragam exclusive rewards khusus untuk Mama dan si Kecil dari setiap pembelian produk Nutrilon. Daftar gratis, sekarang!

Informasi yang Wajib Mama Ketahui

Pilih Artikel Sesuai Kebutuhan Mama
  1. Editorial Staff. (2025). Down syndrome - Symptoms and causes. Accessed on August 30th 2025. https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/down-syndrome/symptoms-causes/syc-20355977
  2. Editorial Staff. (2017). Fragile X syndrome: MedlinePlus Genetics. Accessed on August 30th 2025. https://medlineplus.gov/genetics/condition/fragile-x-syndrome/
  3. Stone, W. L., Basit, H., Shah, M., & Los, E. (2023, October 28). Fragile X Syndrome. Nih.gov; StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459243/
  4. Georgieff, M. K., Ramel, S. E., & Cusick, S. E. (2018). Nutritional Influences on Brain Development. Acta Paediatrica (Oslo, Norway : 1992), 107(8), 1310. https://doi.org/10.1111/apa.14287
  5. Puri, S., Shaheen, M., & Grover, B. (2023). Nutrition and cognitive health: A life course approach. Frontiers in Public Health, 11, 1023907. https://doi.org/10.3389/fpubh.2023.1023907
  6. Editorial Staff. (2019). Inclusive education. Accessed on August 30th 2025. https://www.unicef.org/education/inclusive-education
  7. Ullmann, H., Weeks, J., & Madans, J. (n.d.). Key findings Data from the National Health Interview Survey. https://www.cdc.gov/nchs/data/databriefs/db431.pdf
  8. Haft, S. L., Duong, P. H., Ho, T. C., Hendren, R. L., & Hoeft, F. (2019). Anxiety and Attentional Bias in Children with Specific Learning Disorders. Journal of Abnormal Child Psychology, 47(3), 487. https://doi.org/10.1007/s10802-018-0458-y
  9. Francis, D. A., Caruana, N., Hudson, J. L., & McArthur, G. M. (2019). The association between poor reading and internalising problems: A systematic review and meta-analysis. Clinical Psychology Review, 67, 45-60. https://doi.org/10.1016/j.cpr.2018.09.002
Artikel Terkait